JAKARTA -- Ini tragedi kemanusiaan terbesar sekaligus paling
menyedihkan di Maluku Utara. Tak kurang dari 800 pria dewasa Muslim
tewas dibantai hanya dalam satu malam di tiga desa di Kecamatan Tobelo,
Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Sementara, wanita-wanita diperkosa di
jalan-jalan.
Tragedi kemanusiaan berbau genocide itu terjadi pada 28
Desember 1999 lalu, yakni di Desa Gurua, Desa Popelo, dan Desa Luari.
''Saya mendapat laporan sekitar 80 persen pria dewasa di tiga kantong
Muslim Tobelo dibantai,'' kata Thamrin Amal Tomagola, sosiolog FISIP UI
kelahiran Galela, Halmahera, kemarin.
Tiap desa tersebut, lanjut Thamrin, dihuni sekitar 200 sampai 300
kepala keluarga. ''Maka, jumlah penduduk laki-laki yang dibantai sekitar
800 orang,'' katanya. ''Pembantaian itu terjadi secara tiba-tiba,
menyusul ketegangan sosial yang terus menyelimuti Halmahera Utara,''
tambahnya.
Menurut Wakil Ketua MUI Maluku Utara, H Adjit bin Taher, sejak
ketegangan terjadi pada 26 Desember 1999, hampir 2.000 warga Muslim
Tobelo tewas dibantai, dan empat masjid dibakar. Kantor-kantor KUA dan
hampir semua sarana berbau Islam juga dibakar. ''Wanita-wanita Muslim
juga diperkosa di jalan-jalan,'' katanya. Di wilayah ini Muslim memang
minoritas. Dari 50 ribu jiwa penduduk Tobelo, hanya lima ribu yang
beragama Islam.
Menurut Thamrin, tanda-tanda akan terjadinya penyerangan terhadap
umat Islam di Tobelo sudah tampak pada 25 Desember saat ada konsentrasi
massa besar-besaran di Tobelo. Massa yang berasal dari beberapa
kecamatan di Halmahera Utara dan Ternate tersebut mencapai sekitar 10
ribu sampai 20 ribu orang.
Tamrin mengaku tidak tahu siapa yang melakukan provokasi untuk
melakukan penyerangan ke kantong-kantong Muslim di Tobelo. ''Yang pasti,
pada 26 Desember 1999, mereka melakukan penyerangan ke kantong Muslim di
kota Tobelo setelah buka puasa,'' katanya.
Pada 28 Desember 1999, menurut Thamrin, rombongan truk yang memuat
massa melakukan konvoi di jalanan. Mereka diduga berasal dari kelompok
yang sebelumnya melakukan perayaan Natal di Tobelo pada 25 Desember.
Massa ini tidak hanya berasal dari tiga Kecamatan di Halmahera Utara,
yaitu Tobelo, Galela, dan Jailolo, tetapi juga datang dari Kecamatan
Kao, Pidiwang, dan warga Kristen Ternate yang mengungsi ke Tobelo.
Ketika melakukan konvoi, lanjut Thamrin, pemimpin massa terus
melakukan agitasi melalui pengeras suara dari atas truk. Mereka tidak
melakukan aksi apa-apa ketika melewati kampung atau desa Kristen. Namun,
katanya, ketika melewati kampung Muslim, massa segera turun dari truk.
Mereka menyiram rumah penduduk dengan bensin dan membakarnya. ''Saat
itulah, penduduk ke luar rumah dan mereka membantai para pria dewasa,''
katanya.
Selain menyerang penduduk Muslim, tambah Thamrin, warga Kristen juga
menyerang warga keturunan Cina. Warga Muslim dan Cina yang terdesak
berlari ke Masjid Jami di Kampung Gamsuni dan Masjid di Kampung
Dufa-Dufa untuk mendapatkan perlindungan. Namun, massa terus mengepung
warga yang berada di dalam masjid. ''Mereka lalu menyiram masjid dengan
bensin dan membakar penduduk di dalamnya hidup-hidup. Peristiwa ini
menewaskan sekitar 250 orang,'' katanya.
Thamrin mengungkapkan sejak konflik bernuansa SARA meledak di
Kecamatan Makian Malifut pada 18 Agustus 1999 lalu, warga yang tewas
mencapai sekitar 2.500 orang. Ketegangan yang terjadi di Halmahera Utara
bermula ketika warga Kao yang Kristen berhasil mengusir warga Makian
Malifut yang Muslim dari desa-desa mereka ke Pulau Ternate.
Sebagai pembalasan, warga Muslim melakukan pengusiran kepada warga
Kristen di Ternate yang selanjutnya mengungsi ke Sulawesi Utara dan ke
wilayah Halmahera Utara yang penduduknya mayoritas Kristen. Konflik
sosial yang kini berubah menjadi perang agama di ujung utara Pulau
Halmahera tersebut, ungkap Thamrin, adalah kelanjutan dari konflik di
Kecamatan Makian Malifut 18 Agustus lalu.
Kini, ungkap Thamrin, warga Muslim di Halmahera utara dalam kondisi
terjepit. Mereka terusir dari Kecamatan Tobelo dan Kecamatan Kao. Hanya
sekitar 3.000 orang masih bertahan di Kecamatan Galela yang memang
mayoritas Muslim. Sekitar 5.000 penduduk telah mengungsi ke Ternate.
Sebanyak 400 pemuda, ujar Thamrin, bertekad mempertahankan Kota Soa Siu.
''Selain itu, desa-desa kantong Muslim di Kecamatan Jaelolo saat ini
dikepung warga Kristen,'' tambahnya.
Pemerintah dan Komnas HAM Lamban
Walau konflik sosial di Halmahera Utara sangat tragis karena menelan
ribuan jiwa, Tamrin melihat respons pemerintah pusat sangat lamban dalam
mengantisipasi masalah ini. TNI, aku Thamrin, memang langsung memberikan
bantuan tambahan pasukan dari Malang, Solo dan Madiun. Namun, lanjutnya,
dari pemerintah sipil, tidak ada bantuan nyata untuk mengatasi masalah
sosial di daerah tersebut. ''Saya belum melihat adanya koordinasi dan
perencanaan yang rapi dari pemerintah sipil. Bantuan nyata justru datang
dari LSM-LSM setempat,'' ujarnya.
Selain lambannya reaksi pemerintah sipil, Thamrin juga menyesalkan
kurang responsifnya Komnas HAM menyikapi pelanggaran luar biasa hak
asasi manusia di Halmahera Utara ini.
Untuk menggambarkan betapa dahsyatnya pelanggaran HAM di Halmahera
Utara ini, Thamrin mengingatkan bahwa konflik baru berjalan sekitar lima
bulan sudah menelan korban sekitar 2.500 orang. Sedangkan konflik Ambon
baru menelan sekitar 1.200 jiwa untuk kurun waktu sekitar satu tahun.
''Komnas HAM hanya datang pada konflik pertama pada 18 Agustus 1999.
Sedangkan untuk konflik pada 26 November 1999 dan akhir Desember 1999
mereka tidak juga membentuk tim khusus,'' katanya.
Dari laporan yang terus ia terima, Thamrin mengemukakan ketegangan
terus terjadi di Halmahera Utara kendati ada tambahan pasukan. Pasukan
jihad dari kelompok Muslim kini berkumpul di mulut wilayah Halmahera
Utara untuk melancarkan serangan balasan. Mereka datang dari Tidore,
Ternate, Bacan, Sanana, Galela, dan Halmahera Selatan. ''Pemerintah
harus segera membentuk tim khusus termasuk mengusut pelanggaran HAM
besar-besaran itu. Ini sudah menjadi tragedi kemanusiaan,'' tandasnya.
Soal itu, Pangdam XVI/Pattimura Brigjen TNI Max Tamaela, sebagai
pemegang Komando Pengendalian (Kodal) penyelenggaraan keamanan dan
ketertiban umum (Kamtibum), mengaku akan mempertaruhkan jabatan untuk
menghentikan pertikaian bernuansa SARA itu. ''Saya pertaruhkan jabatan
Pangdam untuk berhentinya pertikaian yang berkepanjangan ini. Begitupun
perintah Panglima TNI untuk menghentikan tragedi kemanusiaan ini,''
katanya di Ambon, Senin.
Surat perintah pengalihan Kodal dengan Nomor TR/1291/1999 tertanggal
28 Desember, diberlakukan Rabu pagi (29/12), sekitar pukul 06.00 WIT.
Dikatakan, Panglima TNI pun memberikan dispensasi untuk meminta tambahan
pasukan jika berdasarkan evaluasi lapangan dirasa masih kurang untuk
penyelenggaraan Kodal Kamtibum guna menghentikan pertikaian.
''Jadi melihat perkembangan pertikaian yang terjadi akhir-akhir ini,
maka dipandang perlu untuk melakukan pelumpuhan tanpa membedakan siapa
penyerangnya, karena kenyataannya pola pendekatan maupun negosiasi
kurang dipatuhi kedua kelompok massa,'' katanya.
Sementara itu, Bandara Sultan Babullah Ternate mulai Senin ditutup
sementara waktu bagi penerbangan komersial untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan yang ditimbulkan sebagai ekses dari rangkaian kerusuhan
bernuansa SARA yang melanda Maluku Utara sejak pekan lalu.